Minggu, 09 Juni 2019

Tangisan Langit Merah di Bumi Mataram



“Ayo kejar aku kalau bisa, hahaha.” Teriakan anak-anak desa mencegah kesunyian desa, mereka berlarian dengan gelak tawa khas kanak-kanaknya. Tingkah laku mereka membuat para orang tua kehilangan rasa lelahnya ketika bekerja, pelipur rasa lelah mereka adalah lalu lalang malaikat-malaikat kecil yang berlarian di sekitar mereka.

“Fatimah, ayo pulang.” Sosok lelaki tua diantara para petani yang datang dari sawahnya mengajak gadis kecil yang sedang bermain bersama teman-temannya.

“Sebentar pak, ini Fatimah masih belum selesai bermain.” Perempuan yang bernam Fatimah tersebut menyahut diantara kumpulan teman-temannya.

“Ayo nduk ini sudah sore, kamu pasti belum mandi dan sholat Ashar,” ajak bapak itu kembali.

“Fatimah ayo, nanti kita sholat jama’ah bersama-sama dengan bapak.” Perempuan yang berada di samping lelaki itu meneruskan ajakan bapaknya, dia sedikit lebih tua dari gadis kecil yang bernama Fatimah tersebut. Setelah ajakan dari sang kakak, akhirnya Fatimah menyudahi untuk bermain dengan teman-temannya dan menyusul mereka untuk menuju gubuk mereka di pinggir sungai.
 
            Sore berubah menjadi senja, dan indahnya senjapun mulai tergantikan oleh gelapnya malam. Suara tawa anak-anak mulai tergantikan oleh suara wirid para muslimin yang tengah berada di surau setelah melaksanakan kewajiban dari agama mereka, yaitu Sholat Maghrib. Suara langkah kaki mulai mendekati gubuk tua di pinggir sungai itu, seorang bapak masuk ke dalam gubuk itu.

“Assalamualaikum.” Salam yang khas darinya sehingga ketiga orang yang berada di gubuk tersebut segera menghampirinya dan menghaturkan tangannya untuk menyambut kedatangan suami sekaligus bapak yang ada di dalam keluarga tersebut.

“Waalaikumsalam.” Perempuan tua disana mencium tangan lelaki yang mana adalah suaminya itu.

“Zah, nduk, kamu nanti antarkan adikmu ke surau untuk ngaji ya? Bapak masih ada tamu nanti,”

“Kok jarang-jarang kita kedatangan tamu pak? Sampai sampai bapak tidak mengajar ngaji anak-anak,”

“Ini tamunya orang penting, jadi tidak enak sendiri kalau bapak meninggalkan beliau,”

“Baik pak, kalau begitu Azizah berangkat dulu.” Kedua anak itu mulai berpamitan kepada kedua orang tua mereka dan mulai pergi ke surau untuk belajar membaca Alquran, dikarenakan seseorang yang seharusnya mengajar anak-anak untuk mengaji berhalangan untuk hadir, maka tugas itu digantikan oleh anaknya, Azizah.

            Waktu sudah mulai larut, lantunan ayat-ayat suci yang mereka bacakan di surau perlahan-lahan mulai berakhir satu demi satu dan diakhiri dengan bacaan  hamdalah. Maka pulanglah para pembaca ayat suci Tuhan yang masih kanak-kanak itu menuju istana kecilnya di pinggir sungai. Sesampainya di depan rumah, mereka mendapati seseorang dengan pakaian layaknya seorang ningrat keluar dari rumahnya. Tampaknya dia sudah selesai urusannya dengan bapaknya dan pergi dengan mengucapkan salam.

“Siapa dia pak?” Tanya Azizah ketika orang tersebut sudah mulai menghilang dari pandangan mereka bertiga.

“Oh, itu Pangeran Danupoyo, adik dari Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat,”
“Oh.” Jawab Azizah singkat, dia sadar kalau kedatangan orang keraton ke rumahnya pastilah sesuatu yang sangat penting dan Azizah merasa tidak berhak untuk turut mengetahui lebih dalam tentang alasan kenapa orang itu datang ke rumahnya. Mereka berdua pun segera pamit dan masuk ke kamar mereka masing-masing.

            Malam mulai semakin larut, suasana semakin sangat sepi, hanya ada suara katak atau hewan-hewan lain yang berada di luar memecah keheningan malam yang entah kenapa semakin mencekam, entah dari rasa was-was hewan yang takut dengan kehadiran binatang buas itu, atau karena sebuah perdebatan suami istri yang tak kunjung selesai di kamarnya.

“Jangan pak, bahaya kalau bapak ikut-ikutan permasalahan kerajaan, bapak belum tahu kabar para senior kerajaan yang membantah tentang pemindahan keraton ini?” seorang perempuan tua terdengar begitu khawatir setelah lelaki tua itu menceritakan maksud dari tamu yang datang kala itu.

“Bapak tau, karena itulah kita harus pergi menasehati kerajaan tentang itu, tenang saja, kita mengambil cara halus untuk menasehati. Lagipula Kanjeng Susuhunan tidak akan mau melakukan hal yang keji terhadap adiknya sendiri bu,”

“Tapi ibu masih khawatir pak, apalagi ada kabar bahwa sekarang Kanjeng Susuhunan sudah mulai bekerja sama dengan kompeni, mereka kan musuh besar Sultan Agung sebelumnya, tidak mungkin mereka mau menjalin kerjasama dengan bersih mengingat ayahnya sudah menggempur mereka sebanyak dua kali.”

“Ssst, diam bu, jangan terlalu membicarakan kompeni di tengah malam begini, bahaya kalau Juragan Edi mendengar hal ini, sudahi saja, lebih baik kita tidur.” Ucap lelaki itu sebagai akhir dari perdebatan mereka di tengah malam.

            Fajar mulai berseri di ufuk timur, suara adzan mulai bersahutan, membangunkan para mubaligh untuk keluar dari sarangnya menuju surau dan melakukan kegiatan yang seharusnya mereka lakukan, tak terkecuali Pak Said, bapak dari kedua kakak beradik Azizah dan Fatimah itu memimpin jalannya ritual keagamaan yang sudah seharusnya dilakukan bagi kaum tersebut.

            Setelah berakhirnya kegiatan peribadatan itu, masing masing orang mulai meninggalkan surau, menyisakan dua pria yang masih duduk di dalamnya. Salah satunya adalah Pak Said, ketika dia sudah mulai beranjak, seseorang mencegahnya. Pria yang terlihat lebih muda dengan kumis tebal berada di sampingnya.

“Pak Said, kemarin malam saya melihat bapak didatangi tamu, siapakah dia?” tanya seseorang yang dari tadi ternyata menunggu Pak Said melakukan wirid,

“Bukan siapa-siapa,” jawab Pak Said singkat, dia tau maksud dan tujuan dari orang itu menanyakan hal tersebut secara tiba-tiba.

“Tidak mungkin kalau bukan siapa-siapa, karena njenengan sampai meninggalkan kewajiban bapak untuk mengajar ngaji anak-anak, termasuk anak saya,” sanggah orang itu dengan nada yang sedikit tinggi,

“Memangnya apa urusannya denganmu? Anak saya sudah menggantikan saya sebagai pengajar, kalau kamu mau protes tentang pengajaran anak saya nanti akan saya sampaikan ke dia,” jawab Pak Said kemudian.

“Bukan masalah itu....”

“Kalau begitu tidak ada yang perlu dibicarakan bukan?” Pak Said berlalu meninggalkan orang itu yang masih geram atas tanggapan Pak Said.

‘BRAKKK!!!’ sebuah hantaman keras sepertinya merusak sesuatu yang terbuat dari kayu, ketika Pak Said berbalik dia sudah mendapati pagar surau rusak ditendang oleh orang itu.

“HEI!!! APA MASALAHMU!!? INI SURAU YANG KAMU RUSAK!!!” bentak Pak Said ketika mengetatui hal itu. Terjadilah cek-cok antara kedua orang tersebut sampai akhirnya seseorang yang berada disana menengahi konflik kedua orang tersebut sehingga tidak terjadi perkelahian diantara mereka.


“Apa!? Bapak habis bertengkar dengan Juragan Edi?” Begitu ucapan yang dilontarkan sang istri ketika mengetahui hal yang terjadi pagi itu, tampak raut kegelisahan mulai tampak pada wajah sang istri.

“Iya bu,  dia sempat menanyakan perihal kedatangan Pangeran Danupoyo kemarin,”

“Astaghfirullah pak! Sudah jangan diteruskan lagi, Juragan Edi itu dekat dengan Kanjeng Susuhunan, bisa-bisa kita dihabisi kalau mengetahui bapak ikut dengan Pangeran Danupoyo untuk membelot kepada kerajaan.”

“Mungkin ibu benar, bapak harus berhenti. Ini juga demi keselamatan Fatimah dan Azizah. Nanti akan bapak bicarakan dengan Pangeran Danupoyo, semoga beliau mengerti maksud bapak.” Ucap Pak Said meyakinkan bahwa dia akan memutuskan untuk tidak melanjutkan pembelotannya terhadap kerajaan dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan tindakannya terhadap kerajaan.

            Maka dilanjutkanlah kegiatan mereka dalam sehari-hari, Pak Said bekerja di sawah, istrinya mempersiapkan keperluan  untuk nanti kembalinya suami dan anak-anaknya, sementara Azizah membantu ibunya untuk memasak makanan untuk bapaknya yang sedang bekerja, Fatimah pergi ke madrasah untuk menghadiri pembelajaran agama.

Hari sudah sore, semua pekerja mulai kembali ke rumahnya masing masing, tak terkecuali Pak Said yang pulang dengan anak sulungnya menuju rumah kediaman mereka. Tak disangka sosok yang dikenalnya sudah berdiri di depan pintu rumahnya, pakaiannya yang sudah menunjukkan bahwa beliau adalah kalangan ningrat tampak mencolok di hadapannya.

Nduk, kamu pergi saja ke kamar, bapak masih ada urusan.”

Azizah langsung menuruti apa kata bapaknya dan mulai pergi menuju kamar dan menemui adiknya yang sedang bermain di kamar, tidak lama setelah itu, terdengar sebuah kalimat dengan nada keras.

“Apa maksudmu berhenti!? Kita sudah mulai bergerak besok dan kamu dengan mudahnya mengatakan berhenti?” Ucap seseorang di balik pintu yang terdengar marah dengan apa yang entah bapaknya katakan padanya,

“Saya berfikir bahwa tindakan ini sangatlah berbahaya raden, raden sendiri tau bahwa Kanjeng Susuhunan memiliki sifat yang keras dan bertangan besi, sadarlah tindakan raden itu sangat berbahaya.” Cegah Pak Said

“Kamu itu hanyalah seorang pengecut, aku akan tetap melakukan tindakan ini dengan atau tanpa kamu.” Orang itu kemudian pergi meninggalkan Pak Said yang masih terdiam dengan bentakan orang itu, kemudian dia masuk ke dalam rumah dengan disambut oleh istrinya yang sedang khawatir.

“Bagaimana ini pak? Bagaimana kalau kita masih saja dicap sebagai pemberontak sedangkan kita sudah berusaha untuk mencegah Pangeran Danupoyo untuk melakukan tindakan itu?” 

“Sudah tidak perlu dipikirkan, Kanjeng Susuhunan tidak akan bertindak sangat kejam terhadap adiknya sendiri.”

“Semoga saja pak.”

            Senja merah mulai tampak, sebuah pertanda bahwa akan ada suatu kematian yang tidak terhindarkan entah untuk malam ini, atau besoknya. Hanya tuhan yang tahu tentang ini semua. Mereka tidur dengan keadaan gelisah, dengan sebuah pikiran “apa yang sudah terjadi di istana?” namun apa yang ingin mereka ketahui? Bukankah apa yang terjadi sudah kehendak Tuhan yang ada diatas sana?


“Innalillahi wa Innailaihi Raji’un”

Sebuah kabar duka datang seketika pada pagg esoknya, sebuah kabar yang menyatakan bahwa Pangeran Danupoyo tewas ditangan kakaknya sendiri, yaitu Kanjeng Susuhunan Amangkurat Agung. Tentunya kabar ini sudah meluas sampai seluruh mataram, kabar yang menunjukkan bahwa Sultan Mataram bertindak tegas terhadap pemberontakan yang terjadi, meskipun harus membunuh adik kandungnya sendiri.

Tragedi itu membuat seluruh warga Mataram takut, pasalnya banyak yang mendukung pemberontakan yang dilakukan oleh Pangern Danupoyo, termasuk Pak Said sendiri. Malam yang membuat perubahan terhadap wajah penduduk yang setiap hari selalu berseri menjadi was-was dengan apa yang akan terjadi nantinya. Terkecuali Juragan Edi, dia pergi ke setiap rumah untuk mendata siapa saja yang sudah berhubungan dekat dengan Almarhum Pangern Danupoyo, lalu sampailah dia ke rumah orang yang sangat dibencinya.

“Assalamualaikum!” serunya didepan rumah Pak Said.

‘Waalaikumsalam.” Pak Said membukakan pintu dan terkejut dengan apa yang ada di hadapannya, sosok yang sebelumnya sudah ditemui dengan kondisi sangat merah pada waktu itu berada di depannya dengan kawalan tentara Mataram. 

“Ada apa ini?” tanya Pak Said ketika mendapati mereka dengan wajah yang sangat menegangkan.

Panjenengan sudah dicurigai bekerja sama dengan Pangearn Danupoyo untuk melakukan pemberontakan, sekarang panjenengan harus ikut dengan kami.” Jawab Juragan Edi dengan pongahnya dihadapan Pak Said. Pak Said yang sudah siap untuk menyerahkan diri segera mengurungkan niatnya ketika beberapa tentara kerajaan merangsek masuk kedalam rumahnya.

“Hey! Apa yang kalian cari? Saya sudah menyerahkan diri saya.” Teriak Pak Said ketika para tentara masuk dengan seenaknya sendiri kedalam rumahnya.

“Pemberontakan itu harus ditumpas sampai akarnya, bisa jadi istri dan anak-anakmu nanti akan bertindak demikian.” Dengan senyum sinisnya Juragan Edi menjawab Pak Said.

“Mereka tidak terlibat dalam ini semua! Tinggalkan mereka!” Bentak Pak Said yang kemudian menyerang ke arah para tentara itu dengan ilmu beladirinya yang tinggi dia mampu menghabisi para sekawanan tentara itu dengan tangan kosong, namun....

‘DOR!”

Sebuah mesiu keluar dari moncong senjata Juragan Edi, membuat Pak Said muntah darah seketika itu juga, suara itu juga langsung memancing Istri Pak Said untuk keluar dari persembunyiannya.

“Aku benar-benar ingin melakukan ini sejak kemarin,” Juragan Edi merasa lega dengan apa yang sudah dilakukannya. Sementara istri Pak Said tengah histeris meratapi jasad suami tercintanya itu yang sudah terkapar tidak berdaya.

“Seret dia, bawa ke alun-alun kota. Tinggalkan saja bangkai itu disini.” Juragan Edi pergi setelah meludahi jasad yang malang itu dan membawa Istri Pak Said yang tengah pingsan karena trauma oleh kepergian belahan jiwa tercintanya. Sementara itu...........


“Kenapa Fatimah tidak boleh pulang? Fatimah ingin ke rumah.” Fatimah yang masih polos itu berdiam di rumah Kyai Ridwan, mereka berdua sudah direncanakan untuk diungsikan ke rumah Kyai Ridwan sebagai jaga-jaga untuk jikalau ada kejadian pasca tragedi kematian Pangeran Danupoyo.

“Fatimah disini saja ya? Sama kakek disini.” Kyai Ridwan berusaha menenangkan fatimah yang merengek ingin pulang dan berada di pangkuan ibunda tercintanya, sementara Azizah, dia diam termenung, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi pada mereka, bagaimana kabar kedua orang tuanya? Dia benar-benar tidak tau apa-apa permasalahan yang menimpa kedua orang tuanya.

“Sssst,” ucap Kyai Ridwan, beliau mendengar sebuah derap langkah kaki, sebuah? Bukan sebuah, namun langkah kaki ini datang secara serentak seperti sekumpulan prajurit yang tengah berperang. Kyai Ridwan segera memberikan isyarat kepada Azizah untuk bersembunyi mengajak adiknya. Sementara Kyai Ridwan mengambil sebuah senjata api yang sebelumnya pernah disimpan untuk jaga-jaga apabila ada sesuatu yang berbahaya.

“BRAKKK!!!” Sebuah dobrakan yang begitu keras membuat pintu yang awalnya terkunci rapat menjadi terbuka seketika.
 
Sementara Kyai Ridwan memandu mereka berdua untuk meninggalkan rumahnya melalui pintu belakang dan merekapun hampir sampai di pertengahan jalan menuju hutan sampai.....

“ITU MEREKA!!!” teriak salah satu tentara Mataram yang menemukan mereka bertiga sedang mengendap-endap untuk menuju tempat yang nantinya akan membuat mereka aman.

“Ayo lari nduk!!” teriak Kyai Ridwan mengomandokan mereka berdua untuk berlari secepat yang mereka bisa, Kyai Ridwan merunduk dan membidikkan senjata api itu ke arah para tentara.

“DOR!” Tembakan pertama membuat salah satu tentara terjatuh dan tewas seketika.

“DOR!” Tembakan kedua membuat Kyai Ridwa meregang nyawa saat itu juga.

Para tentara itu masih berlari mengejar kedua kakak beradik itu laksana mengejar kijang dalam perburuan tahunan untuk pesta kerajaan.

“DOR!” tembakan pertama meleset.

“DOR!” tembakan keduanya mengenai kaki Azizah sehingga dia jatuh tersungkur

“KAKAK!!!” Jerit Fatimah ketika mendapati kakaknya terluka di bagian kaki dan tidak mungkin untuk melanjutkan untuk berlari.

“Sudah kamu lari saja!!!” teriak Azizah.

“DOR!” tembakan itu mengenai punggung sang kakak sehingga dia terkapar tak sadarkan diri, Fatimah semakin menjerit menjadi-jadi. Namun tentara itu masih berlari cepat menuju arah anak yang masih terlalu kecil dan polos untuk dilibatkan dalam tragedi kerajaan itu. Fatimah kemudain berlari masuk hutan, disusul dengan selusin tentara Mataram yang ikut masuk kedalam lebatnya hutan tersebut.

“DOR!”