“Ayo kejar aku
kalau bisa, hahaha.” Teriakan anak-anak desa mencegah kesunyian desa, mereka
berlarian dengan gelak tawa khas kanak-kanaknya. Tingkah laku mereka membuat
para orang tua kehilangan rasa lelahnya ketika bekerja, pelipur rasa lelah
mereka adalah lalu lalang malaikat-malaikat kecil yang berlarian di sekitar
mereka.
“Fatimah, ayo
pulang.” Sosok lelaki tua diantara para petani yang datang dari sawahnya
mengajak gadis kecil yang sedang bermain bersama teman-temannya.
“Sebentar pak, ini
Fatimah masih belum selesai bermain.” Perempuan yang bernam Fatimah tersebut
menyahut diantara kumpulan teman-temannya.
“Ayo nduk ini sudah sore, kamu pasti belum
mandi dan sholat Ashar,” ajak bapak itu kembali.
“Fatimah ayo,
nanti kita sholat jama’ah bersama-sama dengan bapak.” Perempuan yang berada di
samping lelaki itu meneruskan ajakan bapaknya, dia sedikit lebih tua dari gadis
kecil yang bernama Fatimah tersebut. Setelah ajakan
dari sang kakak, akhirnya Fatimah menyudahi untuk bermain dengan teman-temannya
dan menyusul mereka untuk menuju gubuk mereka di pinggir sungai.
Sore berubah menjadi senja, dan
indahnya senjapun mulai tergantikan oleh gelapnya malam. Suara tawa anak-anak
mulai tergantikan oleh suara wirid para
muslimin yang tengah berada di surau setelah melaksanakan kewajiban dari agama
mereka, yaitu Sholat Maghrib. Suara langkah kaki mulai mendekati gubuk tua di
pinggir sungai itu, seorang bapak masuk ke dalam gubuk itu.
“Assalamualaikum.”
Salam yang khas darinya sehingga ketiga orang yang berada di gubuk tersebut
segera menghampirinya dan menghaturkan tangannya untuk menyambut kedatangan
suami sekaligus bapak yang ada di dalam keluarga tersebut.
“Waalaikumsalam.”
Perempuan tua disana mencium tangan lelaki yang mana adalah suaminya itu.
“Zah, nduk, kamu nanti antarkan adikmu ke
surau untuk ngaji ya? Bapak masih ada tamu nanti,”
“Kok jarang-jarang
kita kedatangan tamu pak? Sampai sampai bapak tidak mengajar ngaji anak-anak,”
“Ini tamunya orang
penting, jadi tidak enak sendiri kalau bapak meninggalkan beliau,”
“Baik pak, kalau
begitu Azizah berangkat dulu.” Kedua anak itu mulai berpamitan kepada kedua
orang tua mereka dan mulai pergi ke surau untuk belajar membaca Alquran, dikarenakan
seseorang yang seharusnya mengajar anak-anak untuk mengaji berhalangan untuk
hadir, maka tugas itu digantikan oleh anaknya, Azizah.
Waktu sudah mulai larut, lantunan
ayat-ayat suci yang mereka bacakan di surau perlahan-lahan mulai berakhir satu
demi satu dan diakhiri dengan bacaan
hamdalah. Maka pulanglah para pembaca ayat suci Tuhan yang masih
kanak-kanak itu menuju istana kecilnya di pinggir sungai. Sesampainya di depan
rumah, mereka mendapati seseorang dengan pakaian layaknya seorang ningrat keluar
dari rumahnya. Tampaknya dia sudah selesai urusannya dengan bapaknya dan pergi
dengan mengucapkan salam.
“Siapa dia pak?”
Tanya Azizah ketika orang tersebut sudah mulai menghilang dari pandangan mereka
bertiga.
“Oh, itu Pangeran
Danupoyo, adik dari Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat,”
“Oh.” Jawab Azizah
singkat, dia sadar kalau kedatangan orang keraton ke rumahnya pastilah sesuatu
yang sangat penting dan Azizah merasa tidak berhak untuk turut mengetahui lebih
dalam tentang alasan kenapa orang itu datang ke rumahnya. Mereka berdua pun
segera pamit dan masuk ke kamar mereka masing-masing.
Malam mulai semakin larut, suasana
semakin sangat sepi, hanya ada suara katak atau hewan-hewan lain yang berada di
luar memecah keheningan malam yang entah kenapa semakin mencekam, entah dari
rasa was-was hewan yang takut dengan kehadiran binatang buas itu, atau karena
sebuah perdebatan suami istri yang tak kunjung selesai di kamarnya.
“Jangan pak,
bahaya kalau bapak ikut-ikutan permasalahan kerajaan, bapak belum tahu kabar
para senior kerajaan yang membantah tentang pemindahan keraton ini?” seorang
perempuan tua terdengar begitu khawatir setelah lelaki tua itu menceritakan
maksud dari tamu yang datang kala itu.
“Bapak tau, karena
itulah kita harus pergi menasehati kerajaan tentang itu, tenang saja, kita
mengambil cara halus untuk menasehati. Lagipula Kanjeng Susuhunan tidak akan
mau melakukan hal yang keji terhadap adiknya sendiri bu,”
“Tapi ibu masih
khawatir pak, apalagi ada kabar bahwa sekarang Kanjeng Susuhunan sudah mulai
bekerja sama dengan kompeni, mereka kan musuh besar Sultan Agung sebelumnya,
tidak mungkin mereka mau menjalin kerjasama dengan bersih mengingat ayahnya
sudah menggempur mereka sebanyak dua kali.”
“Ssst, diam bu,
jangan terlalu membicarakan kompeni di tengah malam begini, bahaya kalau
Juragan Edi mendengar hal ini, sudahi saja, lebih baik kita tidur.” Ucap lelaki
itu sebagai akhir dari perdebatan mereka di tengah malam.
Fajar mulai berseri di ufuk timur,
suara adzan mulai bersahutan, membangunkan para mubaligh untuk keluar dari
sarangnya menuju surau dan melakukan kegiatan yang seharusnya mereka lakukan,
tak terkecuali Pak Said, bapak dari kedua kakak beradik Azizah dan Fatimah itu
memimpin jalannya ritual keagamaan yang sudah seharusnya dilakukan bagi kaum
tersebut.
Setelah berakhirnya kegiatan
peribadatan itu, masing masing orang mulai meninggalkan surau, menyisakan dua
pria yang masih duduk di dalamnya. Salah satunya adalah Pak Said, ketika dia
sudah mulai beranjak, seseorang mencegahnya. Pria yang terlihat lebih muda
dengan kumis tebal berada di sampingnya.
“Pak Said, kemarin
malam saya melihat bapak didatangi tamu, siapakah dia?” tanya seseorang yang
dari tadi ternyata menunggu Pak Said melakukan wirid,
“Bukan
siapa-siapa,” jawab Pak Said singkat, dia tau maksud dan tujuan dari orang itu
menanyakan hal tersebut secara tiba-tiba.
“Tidak mungkin
kalau bukan siapa-siapa, karena njenengan
sampai meninggalkan kewajiban bapak untuk mengajar ngaji anak-anak,
termasuk anak saya,” sanggah orang itu dengan nada yang sedikit tinggi,
“Memangnya apa
urusannya denganmu? Anak saya sudah menggantikan saya sebagai pengajar, kalau
kamu mau protes tentang pengajaran anak saya nanti akan saya sampaikan ke dia,”
jawab Pak Said kemudian.
“Bukan masalah
itu....”
“Kalau begitu
tidak ada yang perlu dibicarakan bukan?” Pak Said berlalu meninggalkan orang
itu yang masih geram atas tanggapan Pak Said.
‘BRAKKK!!!’ sebuah
hantaman keras sepertinya merusak sesuatu yang terbuat dari kayu, ketika Pak
Said berbalik dia sudah mendapati pagar surau rusak ditendang oleh orang itu.
“HEI!!!
APA MASALAHMU!!? INI SURAU YANG KAMU RUSAK!!!” bentak Pak Said ketika
mengetatui hal itu. Terjadilah cek-cok antara kedua orang tersebut sampai
akhirnya seseorang yang berada disana menengahi konflik kedua orang tersebut
sehingga tidak terjadi perkelahian diantara mereka.
“Apa!? Bapak habis
bertengkar dengan Juragan Edi?” Begitu ucapan yang dilontarkan sang istri
ketika mengetahui hal yang terjadi pagi itu, tampak raut kegelisahan mulai
tampak pada wajah sang istri.
“Iya bu, dia sempat menanyakan perihal kedatangan
Pangeran Danupoyo kemarin,”
“Astaghfirullah
pak! Sudah jangan diteruskan lagi, Juragan Edi itu dekat dengan Kanjeng
Susuhunan, bisa-bisa kita dihabisi kalau mengetahui bapak ikut dengan Pangeran
Danupoyo untuk membelot kepada kerajaan.”
“Mungkin ibu
benar, bapak harus berhenti. Ini juga demi keselamatan Fatimah dan Azizah.
Nanti akan bapak bicarakan dengan Pangeran Danupoyo, semoga beliau mengerti
maksud bapak.” Ucap Pak Said meyakinkan bahwa dia akan memutuskan untuk tidak
melanjutkan pembelotannya terhadap kerajaan dikarenakan kondisi yang tidak
memungkinkan untuk melanjutkan tindakannya terhadap kerajaan.
Maka dilanjutkanlah kegiatan mereka
dalam sehari-hari, Pak Said bekerja di sawah, istrinya mempersiapkan keperluan untuk nanti kembalinya suami dan anak-anaknya,
sementara Azizah membantu ibunya untuk memasak makanan untuk bapaknya yang
sedang bekerja, Fatimah pergi ke madrasah untuk menghadiri pembelajaran agama.
Hari
sudah sore, semua pekerja mulai kembali ke rumahnya masing masing, tak
terkecuali Pak Said yang pulang dengan anak sulungnya menuju rumah kediaman
mereka. Tak disangka sosok yang dikenalnya sudah berdiri di depan pintu
rumahnya, pakaiannya yang sudah menunjukkan bahwa beliau adalah kalangan
ningrat tampak mencolok di hadapannya.
“Nduk, kamu pergi saja ke kamar, bapak
masih ada urusan.”
Azizah langsung menuruti
apa kata bapaknya dan mulai pergi menuju kamar dan menemui adiknya yang sedang
bermain di kamar, tidak lama setelah itu, terdengar sebuah kalimat dengan nada
keras.
“Apa maksudmu
berhenti!? Kita sudah mulai bergerak besok dan kamu dengan mudahnya mengatakan
berhenti?” Ucap seseorang di balik pintu yang terdengar marah dengan apa yang
entah bapaknya katakan padanya,
“Saya berfikir
bahwa tindakan ini sangatlah berbahaya raden, raden sendiri tau bahwa Kanjeng
Susuhunan memiliki sifat yang keras dan bertangan besi, sadarlah tindakan raden
itu sangat berbahaya.” Cegah Pak Said
“Kamu itu hanyalah
seorang pengecut, aku akan tetap melakukan tindakan ini dengan atau tanpa kamu.”
Orang itu kemudian pergi meninggalkan Pak Said yang masih terdiam dengan
bentakan orang itu, kemudian dia masuk ke dalam rumah dengan disambut oleh
istrinya yang sedang khawatir.
“Bagaimana ini
pak? Bagaimana kalau kita masih saja dicap sebagai pemberontak sedangkan kita
sudah berusaha untuk mencegah Pangeran Danupoyo untuk melakukan tindakan itu?”
“Sudah tidak perlu
dipikirkan, Kanjeng Susuhunan tidak akan bertindak sangat kejam terhadap
adiknya sendiri.”
“Semoga saja pak.”
Senja merah mulai tampak, sebuah
pertanda bahwa akan ada suatu kematian yang tidak terhindarkan entah untuk
malam ini, atau besoknya. Hanya tuhan yang tahu tentang ini semua. Mereka tidur
dengan keadaan gelisah, dengan sebuah pikiran “apa yang sudah terjadi di
istana?” namun apa yang ingin mereka ketahui? Bukankah apa yang terjadi sudah
kehendak Tuhan yang ada diatas sana?
“Innalillahi wa
Innailaihi Raji’un”
Sebuah
kabar duka datang seketika pada pagg esoknya, sebuah kabar yang menyatakan
bahwa Pangeran Danupoyo tewas ditangan kakaknya sendiri, yaitu Kanjeng
Susuhunan Amangkurat Agung. Tentunya kabar ini sudah meluas sampai seluruh
mataram, kabar yang menunjukkan bahwa Sultan Mataram bertindak tegas terhadap
pemberontakan yang terjadi, meskipun harus membunuh adik kandungnya sendiri.
Tragedi
itu membuat seluruh warga Mataram takut, pasalnya banyak yang mendukung
pemberontakan yang dilakukan oleh Pangern Danupoyo, termasuk Pak Said sendiri.
Malam yang membuat perubahan terhadap wajah penduduk yang setiap hari selalu
berseri menjadi was-was dengan apa yang akan terjadi nantinya. Terkecuali
Juragan Edi, dia pergi ke setiap rumah untuk mendata siapa saja yang sudah berhubungan
dekat dengan Almarhum Pangern Danupoyo, lalu sampailah dia ke rumah orang yang
sangat dibencinya.
“Assalamualaikum!”
serunya didepan rumah Pak Said.
‘Waalaikumsalam.”
Pak Said membukakan pintu dan terkejut dengan apa yang ada di hadapannya, sosok
yang sebelumnya sudah ditemui dengan kondisi sangat merah pada waktu itu berada
di depannya dengan kawalan tentara Mataram.
“Ada apa ini?”
tanya Pak Said ketika mendapati mereka dengan wajah yang sangat menegangkan.
“Panjenengan sudah dicurigai bekerja sama
dengan Pangearn Danupoyo untuk melakukan pemberontakan, sekarang panjenengan harus ikut dengan kami.”
Jawab Juragan Edi dengan pongahnya dihadapan Pak Said. Pak Said yang sudah siap
untuk menyerahkan diri segera mengurungkan niatnya ketika beberapa tentara
kerajaan merangsek masuk kedalam rumahnya.
“Hey! Apa yang
kalian cari? Saya sudah menyerahkan diri saya.” Teriak Pak Said ketika para
tentara masuk dengan seenaknya sendiri kedalam rumahnya.
“Pemberontakan itu
harus ditumpas sampai akarnya, bisa jadi istri dan anak-anakmu nanti akan
bertindak demikian.” Dengan senyum sinisnya Juragan Edi menjawab Pak Said.
“Mereka tidak
terlibat dalam ini semua! Tinggalkan mereka!” Bentak Pak Said yang kemudian
menyerang ke arah para tentara itu dengan ilmu beladirinya yang tinggi dia
mampu menghabisi para sekawanan tentara itu dengan tangan kosong, namun....
‘DOR!”
Sebuah mesiu
keluar dari moncong senjata Juragan Edi, membuat Pak Said muntah darah seketika
itu juga, suara itu juga langsung memancing Istri Pak Said untuk keluar dari
persembunyiannya.
“Aku benar-benar
ingin melakukan ini sejak kemarin,” Juragan Edi merasa lega dengan apa yang
sudah dilakukannya. Sementara istri Pak Said tengah histeris meratapi jasad
suami tercintanya itu yang sudah terkapar tidak berdaya.
“Seret
dia, bawa ke alun-alun kota. Tinggalkan saja bangkai itu disini.” Juragan Edi
pergi setelah meludahi jasad yang malang itu dan membawa Istri Pak Said yang
tengah pingsan karena trauma oleh kepergian belahan jiwa tercintanya. Sementara
itu...........
“Kenapa Fatimah
tidak boleh pulang? Fatimah ingin ke rumah.” Fatimah yang masih polos itu
berdiam di rumah Kyai Ridwan, mereka berdua sudah direncanakan untuk diungsikan
ke rumah Kyai Ridwan sebagai jaga-jaga untuk jikalau ada kejadian pasca tragedi
kematian Pangeran Danupoyo.
“Fatimah disini
saja ya? Sama kakek disini.” Kyai Ridwan berusaha menenangkan fatimah yang
merengek ingin pulang dan berada di pangkuan ibunda tercintanya, sementara
Azizah, dia diam termenung, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi pada
mereka, bagaimana kabar kedua orang tuanya? Dia benar-benar tidak tau apa-apa
permasalahan yang menimpa kedua orang tuanya.
“Sssst,” ucap Kyai
Ridwan, beliau mendengar sebuah derap langkah kaki, sebuah? Bukan sebuah, namun
langkah kaki ini datang secara serentak seperti sekumpulan prajurit yang tengah
berperang. Kyai Ridwan segera memberikan isyarat kepada Azizah untuk
bersembunyi mengajak adiknya. Sementara Kyai Ridwan mengambil sebuah senjata
api yang sebelumnya pernah disimpan untuk jaga-jaga apabila ada sesuatu yang
berbahaya.
“BRAKKK!!!” Sebuah
dobrakan yang begitu keras membuat pintu yang awalnya terkunci rapat menjadi
terbuka seketika.
Sementara Kyai
Ridwan memandu mereka berdua untuk meninggalkan rumahnya melalui pintu belakang
dan merekapun hampir sampai di pertengahan jalan menuju hutan sampai.....
“ITU MEREKA!!!”
teriak salah satu tentara Mataram yang menemukan mereka bertiga sedang
mengendap-endap untuk menuju tempat yang nantinya akan membuat mereka aman.
“Ayo lari nduk!!” teriak Kyai Ridwan mengomandokan
mereka berdua untuk berlari secepat yang mereka bisa, Kyai Ridwan merunduk dan
membidikkan senjata api itu ke arah para tentara.
“DOR!” Tembakan
pertama membuat salah satu tentara terjatuh dan tewas seketika.
“DOR!” Tembakan
kedua membuat Kyai Ridwa meregang nyawa saat itu juga.
Para tentara itu
masih berlari mengejar kedua kakak beradik itu laksana mengejar kijang dalam
perburuan tahunan untuk pesta kerajaan.
“DOR!” tembakan
pertama meleset.
“DOR!” tembakan
keduanya mengenai kaki Azizah sehingga dia jatuh tersungkur
“KAKAK!!!” Jerit
Fatimah ketika mendapati kakaknya terluka di bagian kaki dan tidak mungkin
untuk melanjutkan untuk berlari.
“Sudah kamu lari
saja!!!” teriak Azizah.
“DOR!” tembakan
itu mengenai punggung sang kakak sehingga dia terkapar tak sadarkan diri,
Fatimah semakin menjerit menjadi-jadi. Namun tentara itu masih berlari cepat
menuju arah anak yang masih terlalu kecil dan polos untuk dilibatkan dalam
tragedi kerajaan itu. Fatimah kemudain berlari masuk hutan, disusul dengan
selusin tentara Mataram yang ikut masuk kedalam lebatnya hutan tersebut.
“DOR!”